Kamis, 19 Maret 2015

Bertemu Begal


Padahal sebelum berangkat tadi, aku
sudah berdoa. "Ya Tuhan semoga
aku tidak bertemu dengan begal,
aamiin".

Ternyata, di perjalanan aku dibegal.
Daripada mendapat celaka karena
bersikukuh mempertahankan,
akhirnya aku serahkan.
Aku serahkan sepeda motorku, dia
menggelengkan kepala. Aku serahkan
dompet dengan isi tidak seberapa,
dia juga menggeleng.
Aku bingung.
"Ini benar begal, atau canda iseng
teman-teman," pikirku, menduga-
duga.
Aku amati wajah bertopeng hitam itu.
Dia balas memandang mataku tajam.

"Apa yang kau inginkan?" tanyaku.
Dia menunjuk tepat ke dadaku.
"Apa?" tanyaku, semakin bingung.
Sekali lagi dia menunjuk ke dadaku.
"Tidak mungkin jaket lusuhku yang
dia pinta" kembali pikiranku menduga
bersama beberapa rasa khawatir
yang berkecamuk meraba-raba.
"Apa?" tanyaku, sekali lagi.
"Hati," jawabnya singkat.
"Hati?" tanyaku, memastikan.
"Ya, hatimu" jawabnya lagi.
"Tidak bisa, hati ini ada yang punya"
sergahku sambil mundur selangkah.

Sigap dia menghunus pisau belatinya
dengan tangan kiri dan siap
menusukku sementara tangan
kanannya masih tetap memegang
parang yang menatapku garang di
atas kepalanya.
Aku mundur selangkah lagi, merasa
ngeri.

"Baik ... baik ... baik, a .. akan aku
serahkan, tet ... tet.. tapi separuh
saja" kataku, tergagap.
"Semua!" sergahnya.
"Jangan lah," pintaku.
"Kalau semua, nanti tidak ada sisa
yang bisa aku bawa pulang. Lalu apa
yang harus aku suguhkan untuk nanti
malam?".
"Aku ..."
Belum selesai aku berkata-kata lagi,
tiba-tiba, jleb.
Suara belati yang menembus dadaku
lurus menusuk hatiku, mengantarkan
aku tersungkur.

Setelah mengorek isi dada dan
mengambil seluruh hatiku, begal itu
pergi tanpa terburu-buru.
"Begal bodoh. Kau bisa membawa
seluruh hatiku, tapi tidak dengan
cintaku", batinku berkata, seraya
bangkit kembali berdiri dengan dada
berlubang.

Oleh Prihatino Tino

Tidak ada komentar:

Posting Komentar