Kamis, 19 Maret 2015

Dua Peran

Akhirnya aku menyerah.
Setelah selama dua bulan lebih
dipaksa menjadi dua pribadi
sekaligus, menjadi suami dan istri,
menjadi seorang ayah dan ibu dalam
satu waktu, akhirnya aku menyerah.
Aku capek. Luar biasa capek. Lahir
dan batin.
Maka, pada suatu pagi, sesaat
sebelum aku berangkat kerja, di
samping istri tercinta yang sedang
terbaring lemah di ranjang pengantin
kami, sambil menyuapinya makan,
aku berkata terus terang padanya,
“Pakaian kita Abang loundriin saja ya,
Dek. Abang nggak sanggup
mengurus semua pekerjaan rumah
sendiri. Dan soal pakaian adalah
pekerjaan yang paling tak pandai
Abang urus. Boleh ya?” kataku
meminta persetujuan.
Kedua mata perempuanku berkaca.
Berkali-kali permintaan maaf terbaca
pada bening matanya, baru kali ini
aku melihatnya luka. Sebab mungkin
baru kali ini aku berkesah padanya.
Karena sebelumnya aku selalu
perkasa mengurus semua. Sebagai
suami yang harus bekerja di luar
rumah. Juga sekaligus menggantikan
tugas-tugasnya yang tak bisa tertunai
sama sekali sejak heparnya terfonis
menyusut tak lagi normal. Jujur aku
akui, tak mudah, sama sekali tak
mudah mengurus dua pekerjaan
sekaligus dalam satu waktu yang
sama. Apalagi aku tak memiliki
keterampilan yang memadai terhadap
pekerjaan satunya.
Jujur saja, baru kali ini aku
menyadari bahwa ternyata pekerjaan
‘perempuan’ tidaklah sesederhana
nampaknya. Terutama urusan baju
kotor. Okelah soal nyuci bisa
dilimpahkan pada mesin cuci. Jelang
lelap malam hari, pencet tombol.
Esok paginya tinggal menjemur.
Yang payah adalah menyetrika. Baru
dua tiga helai pakaian kukerjakan,
pinggang rasanya sudah sakit minta
ampun. Gila bener!
Ah, salah besar jika selama ini
menganggap pekerjaan rumahan
sebagai pekerjaan remeh temeh.
Bahkan aku berani bertaruh, tak
seorang pun lelaki mau beralih peran
dengan tugas mereka.

Sepi menelikung kami sesaat. Mata
kaca perempuanku pecah berderai
satu-satu. Hatiku ngilu. Sungguh tak
ada maksud hati untuk mengungkit
ketakberdayaannya. Aku hanya ingin
memberi tahu. Sekaligus ijin. Sebab,
selama ini perempuanku ini tak
pernah setuju memakai jasa loundry .
Sebab dia selalu mengurus
semuanya.
“Boleh ya, Dek?” tanyaku mengulang.
Perempuanku mengusap air matanya.
Sejurus kemudian menarik napas
pelan-pelan. Bibirnya berusaha untuk
menerbitkan senyum dengan susah
payah. Sejenak muncul. Tapi tak
sempurna. Mungkin rasa bersalah
masih menguasai hatinya. Kemudian
dia menatapku serius.

“Boleh, Bang,” jawabnya lirih.

Kondisi
badannya memang sangat lemah.
Pelan digerakkannya tangan
kanannya untuk menyentuh paha
kananku. Lalu menekannya lembut.
“Tapi Abang cari loundry yang bener
ya.”
Dahiku berkerenyit. Loundry yang
bener?
“Maksudnya?”
“Abang cari Loundry yang bukan
hanya jualan bersih, harum dan rapi.
Namun juga yang paham bagaimana
mensucikan pakaian yang bernajis,”
perempuanku menghela napas.
Bicara terlalu banyak membuatnya
megap-megap.

“Tak ada guna pakaian yang kita
gunakan meski harum, bersih, dan
rapi licin jika bernajis. Sebab itu
akan menyebabkan shalat kita
tertolak. Jika shalat kita tertolak,
Bang, naudzubillahi min dzalik , tak ada
tempat untuk kita di akhirat kelak.
Sebab shalat adalah tolak ukur untuk
amalan kita yang lain, ” kata
perempuanku dengan suara kecil
namun serius. Tegas.
Aku tertegun. Sama sekali tak pernah
terpikir tentang itu. Sebab, ketika
hendak memakai jasa loundry, yang
terlintas pertama kali adalah soal
biayanya, cepat tidaknya dan lalu
seperti apa hasilnya. Tak menyangka,
perkara loundry justru bisa panjang
sampai ke urusan akhirat.
Duh, istriku.

Sekali lagi aku bersyukur menjadi
pendampingmu.
Karena tiap saat kau selalu
memudahkan jalanku ke surga.
Terima kasih.

By. Kho Zin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar